
Tim kuasa hukum PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) menilai kesaksian mantan Kepala Biro Keuangan CMNP periode 1999–2004, Jarot Basuki, membuktikan tidak ada keterlibatan Drosophila dalam transaksi tukar-menukar surat berharga antara CMNP dengan Hary Tanoesoedibjo.
Menurut tim kuasa hukum, klaim pihak Hary Tanoe yang menyatakan Drosophila harus bertanggung jawab dalam gugatan perdata atas dugaan perbuatan melawan hukum terkait NCD palsu tidak memiliki dasar hukum.
"Sangat aneh apabila perusahaan ini disebut sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kerugian CMNP. Pertama, bagaimana mungkin perusahaan yang didirikan dengan modal 100 ribu SGD memiliki NCD senilai 28 juta USD," kata tim kuasa hukum PT CMNP dari Law Firm Lucas, S.H. & Partners, Andi Syamsurizal Nurhadi, Rabu (22/10/2025).
Usut punya usut berdasarkan fakta sidang, kata Andi, Drosophila dimiliki oleh Hary Tanoe dan Liliana Tanaja, masing-masing sebanyak 50.000 saham atau sebesar 50%. Tidak hanya itu, Hary Tanoe, Liliana Tanaja, dan Tang Lai Lin (almarhum) juga duduk sebagai direktur pada saat itu.
Selanjutnya, kata Andi, diduga perusahaan ini sengaja dibuat oleh Hary Tanoe untuk jadi bumper agar terlepas dari tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh CMNP atas diserahkannya NCD yang tidak sah kepada CMNP, mengingat bahwa Drosophila didirikan hanya tujuh bulan sebelum transaksi pertukaran surat berharga milik CMNP dengan NCD milik Hary Tanoe, dan akhirnya dibubarkan secara sukarela pada tahun 2004.
"Fakta ini menunjukan bahwa Hary Tanoe sendirilah yang melikuidasi Drosophila. Dalih pihak Hary Tanoe selama ini yang menyebut Drosophila sebagai pihak yang harus bertanggungjawab dalam transaksi NCD senilai 28 juta USD semakin terbantahkan, karena tidak ada satupun dokumen yang menunjukan bahwa ada keterkaitan dan keterlibatan Drosophila dalam transaksi tukar menukar NCD," tegas Andi.
Menurut Andi, dari fakta-fakta persidangan tersebut, jelas tidak ada urgensi dan kepentingan hukum bagi CMNP menggugat Drosophila, apalagi perusahaan itu sudah tidak ada sejak 2004.
Lebih lanjut, Andi menjelaskan, berdasarkan fakta sidang, terdapat dugaan kongkalikong penerbitan surat berharga NCD palsu antara mantan Direktur Keuangan CMNP Tito Sulistio dan Hary Tanoe melalui perusahaan MNC Holding (dahulu Bhakti Investama). Tito disebut memerintahkan Jarot terkait pertukaran surat berharga tersebut, namun NCD itu tidak bisa dicairkan.
Adapun skema pertukaran surat berharga tersebut melibatkan Medium Term Note (MTN) dan Obligasi Tahap II milik CMNP dengan nilai masing-masing Rp163,5 miliar dan Rp189 miliar. Sementara itu, pihak Hary Tanoe menyerahkan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang diterbitkan Unibank senilai USD 28 juta secara bertahap.
"Inisiator pertukaran antara Medium Term Notes (MTN) dan Obligasi CMNP dengan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) milik Hary Tanoe disebut berasal dari Hary Tanoe bersama Tito Sulistio," ucap Andi.
Sebelumnya, Tergugat I dalam perkara ini adalah Executive Chairman MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, bersama mantan Direktur Keuangan CMNP, Tito Sulistio, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI). Tergugat II adalah perusahaan MNC Group yang sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk. Kedua tergugat diwakili tim kuasa hukum Law Firm Hotman Paris & Partners, sementara penggugat diwakili Law Firm Lucas, S.H. & Partners.
Dalam gugatannya, kuasa hukum PT CMNP menyatakan NCD yang diberikan Hary Tanoe tidak sah dan diduga palsu sehingga tidak dapat dicairkan, menyebabkan kerugian materiil sebesar Rp103,46 triliun.
"Sehingga kerugian materiil yang dialami Penggugat (CMNP) sampai dengan tanggal 27 Februari 2025 adalah sebesar USD 6.313.753.178 atau ekuivalen dengan Rp103.463.504.904.086,” ujar Primaditya dalam sidang PN Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, tindakan Hary Tanoe dan perusahaannya juga menimbulkan kerugian immateriil karena mencoreng reputasi CMNP di mata investor, publik, dan pemerintah dengan estimasi mencapai Rp16,38 triliun.
“Kerugian immateriil... yang tidak dapat dinilai secara materi, namun apabila ditaksir kerugiannya mencapai USD 1.000.000.000 atau ekuivalen dengan Rp16.387.000.000.000,” ucap Primaditya.
Gugatan juga mencakup permintaan sita jaminan atas aset milik Hary Tanoe untuk menjamin pembayaran ganti rugi.
Kasus ini bermula pada 1999, ketika terjadi transaksi pertukaran instrumen keuangan antara PT CMNP dan Hary Tanoe. Namun pencairan NCD yang diterbitkan Unibank senilai USD 28 juta tidak dapat dilakukan pada 22 Agustus 2002 karena Unibank telah ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sejak Oktober 2001.
Menurut CMNP, Hary Tanoe diduga mengetahui bahwa dokumen NCD tersebut tidak sesuai prosedur karena diterbitkan dalam mata uang dolar AS dengan tenor lebih dari 24 bulan, melanggar ketentuan Bank Indonesia.
Direktur Legal MNC Asia Holding, Chris Taufik, menyebut gugatan CMNP salah sasaran. Ia menegaskan transaksi tersebut tidak berkaitan langsung dengan Hary Tanoe maupun MNC Asia Holding, dan Hary Tanoe hanya berperan sebagai perantara.
sumber: inilah