Publik tengah ramai membandingkan proyek kereta cepat Indonesia (Whoosh) dengan proyek Saudi Landbridge di Arab Saudi.
Perbandingan muncul setelah muncul klaim di media sosial bahwa Arab mampu membangun jalur kereta cepat lebih dari 1.000 kilometer dengan biaya setara Rp112 triliun, sementara Whoosh hanya sepanjang 142 kilometer menelan biaya Rp113 triliun.
Data resmi menunjukkan bahwa perbandingan ini tidak sepenuhnya salah, meski konteks dan struktur pembiayaan berbeda.
Saudi Landbridge: 1.300 Km Jalur Strategis Senilai Rp112 Triliun
Proyek Saudi Landbridge merupakan salah satu proyek strategis nasional Arab Saudi di bawah Kementerian Transportasi dan Logistik, yang dikelola oleh Saudi Arabia Railways (SAR).
Jalur ini akan menghubungkan pelabuhan Jeddah di Laut Merah dengan pelabuhan Dammam di Teluk Arab, dengan total panjang sekitar 1.300–1.500 kilometer.
Menurut laporan Railway Supply dan Argaam, biaya proyek ini ditaksir mencapai US$7 miliar atau sekitar Rp112 triliun (kurs Rp16.000/US$).
Proyek ini merupakan bagian dari Saudi Vision 2030, yang bertujuan memperkuat konektivitas logistik, mempercepat transportasi barang, dan membuka jalur komersial darat lintas Saudi.
Selain Landbridge, Saudi juga telah mengoperasikan Haramain High-Speed Railway sepanjang 449 km yang menghubungkan Makkah, Jeddah, dan Madinah sejak 2018.
Nilai proyeknya mencapai SAR 60 miliar atau sekitar US$16 miliar. Jalur ini menjadi salah satu rute cepat tersibuk di dunia dengan kecepatan hingga 300 km/jam.
Whoosh: 142 Km, Rp113 Triliun, dan Masih Tanggung Utang
Sebaliknya, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) memiliki panjang 142,3 kilometer dengan total investasi sekitar Rp113 triliun. Proyek ini dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China.
Dari total pembiayaan tersebut, sekitar 75 persen berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), sedangkan sisanya dari ekuitas BUMN.
Whoosh diresmikan pada 2 Oktober 2023 oleh Presiden Joko Widodo dan diklaim sebagai kereta cepat pertama di Asia Tenggara. Namun, proyek ini masih menyisakan perdebatan soal efisiensi biaya, beban utang, dan manfaat ekonomi jangka panjang.
Perbandingan: Skala dan Fungsi Berbeda
Dari sisi angka, proyek Saudi terlihat lebih efisien karena membangun jaringan lebih panjang dengan biaya serupa. Namun secara fungsi, Landbridge dan Whoosh memiliki orientasi berbeda. Landbridge berfokus pada logistik antar kota dan penguatan ekonomi lintas pelabuhan, sementara Whoosh mengutamakan transportasi penumpang antarkota besar.
Analis infrastruktur menilai bahwa perbandingan langsung tanpa konteks bisa menyesatkan. Namun, proyek Arab Saudi menunjukkan bagaimana perencanaan jangka panjang, integrasi logistik, dan pengelolaan utang negara menjadi faktor penting dalam menekan biaya mega proyek.
Baik Saudi maupun Indonesia sama-sama menjadikan proyek kereta cepat sebagai simbol kemajuan teknologi transportasi.
Bedanya, Saudi menempatkan proyek itu dalam kerangka besar Vision 2030 yang fokus pada efisiensi, konektivitas, dan diversifikasi ekonomi.
Sementara di Indonesia, proyek Whoosh kini memasuki fase evaluasi pascaoperasi. Pemerintah masih menyiapkan rencana ekspansi rute ke Surabaya, sambil menghadapi kritik publik soal pembiayaan dan utang luar negeri yang terus meningkat.