Image description
Image captions

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusulkan nama Jurist Tan, mantan Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Langkah itu diambil karena Jurist tidak kunjung memenuhi panggilan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Ia disebut-sebut masih berada di luar negeri dan dikabarkan berada di Australia.

"Yang jelas, kita tidak lagi melakukan pemanggilan. Dan mungkin nantinya penyidik rencana akan menetapkan DPO, dan nanti ditindak lanjutnya dengan Red Notice," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, kepada awak media di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan,

Anang mengatakan, DPO tersebut akan segera diterbitkan. "Rencana dalam waktu dekat segera," ujarnya.

Kejagung juga masih menelusuri keberadaan Jurist Tan di luar negeri yang dikabarkan di Australia. "Semua informasi nanti kita tampung, nanti kita deteksi keberadaannya benar atau tidaknya kita akan memastikan," katanya.

Sementara itu, eks Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyebut Jurist Tan sebelumnya pernah memberikan keterangan tertulis sebagai saksi dalam kasus ini. Namun menurutnya, keterangan tertulis belum cukup karena dibutuhkan pemeriksaan langsung di Gedung Bundar.

"Jadi kalau misalnya hanya menjelaskan secara tertulis kan itu hanya terbatas pada tulisan kan. Tapi kita juga mau melihat bagaimana sih sebenarnya proses pengadaan Chromebook ini, mungkin dari sisi perencanaannya sampai kepada eksekusi pelaksanaannya di lapangan," jelas Harli melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (1/7/2025).

Hingga Selasa (15/7/2025), penyidik Jampidsus telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah Jurist Tan, mantan Stafsus Mendikbudristek; Ibrahim Arief, mantan konsultan teknologi di Warung Teknologi Kemendikbudristek; Sri Wahyuningsih, mantan Direktur Sekolah Dasar dan KPA Direktorat SD TA 2020–2021; serta Mulyatsyah, mantan Direktur SMP dan dan KPA Direktorat SMP TA 2020–2021..

Dalam konstruksi perkara, keterlibatan Nadiem bermula sejak Agustus 2019, sebelum ia resmi menjabat sebagai menteri. Saat itu, bersama Jurist Tan dan FN (Fiona Handayani), ia membentuk grup WhatsApp bernama Mas Menteri Core Team yang merancang program digitalisasi pendidikan berbasis ChromeOS. Setelah dilantik pada Oktober 2019, Nadiem memerintahkan Jurist untuk menindaklanjuti proyek tersebut.

Jurist kemudian menjalin komunikasi dengan perwakilan Google, yakni WKM dan PRA, membahas skema co-investment sebesar 30 persen dari pihak Google dengan syarat seluruh pengadaan TIK menggunakan ChromeOS.

Jurist menunjuk Ibrahim Arief sebagai konsultan teknologi di Warung Teknologi. Ibrahim mendorong agar tim teknis hanya mengarah pada produk Google. Ia bahkan menolak hasil kajian teknis pertama karena tidak menyertakan ChromeOS, lalu menyusun ulang kajian kedua yang kemudian dijadikan dasar resmi pengadaan. Pada April 2020, Nadiem, Jurist, dan Ibrahim bertemu langsung dengan pihak Google untuk menyusun strategi penggunaan Chromebook dan Workspace. Kajian teknis itu dirancang seolah-olah ilmiah, padahal telah diarahkan sejak awal.

Dalam pelaksanaan proyek, Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah sebagai KPA jenjang SD dan SMP mengarahkan pengadaan kepada vendor tertentu, salah satunya PT Bhinneka Mentari Dimensi. Vendor tersebut bahkan dilibatkan langsung dalam pemesanan unit Chromebook yang dilakukan secara mendadak pada malam hari, 30 Juni 2020, di Hotel Arosa, Bintaro. Keduanya memerintahkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk segera mengeksekusi pesanan sesuai arahan menteri. Mereka juga menyusun petunjuk pelaksanaan yang mengunci spesifikasi hanya pada produk berbasis ChromeOS dan menetapkan harga paket per sekolah sebesar Rp88,25 juta untuk 15 laptop dan satu konektor.

Akibat rekayasa sistemik tersebut, Kejagung mencatat kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun. Nilai itu terdiri dari mark-up harga laptop sebesar Rp1,5 triliun dan software Chrome Device Management (CDM) sebesar Rp480 miliar. Sebanyak 1,2 juta unit Chromebook yang diadakan juga tidak optimal digunakan, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), karena keterbatasan sistem operasi ChromeOS.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.