Image description
Image captions
Image description
Image captions

 

Skandal penjualan solar nonsubsidi di bawah harga pasar oleh oknum di Pertamina kian memanas. Setelah terkuaknya daftar 13 korporasi yang meraup untung haram mencapai Rp2,54 triliun, desakan hukum tak lagi hanya menyasar individu, melainkan langsung ke jantung perusahaan dan para bosnya.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk segera bertindak tegas. Ia menuntut penetapan tersangka tak hanya pada individu di Pertamina, tetapi juga pada individu dan 13 korporasi yang secara langsung diuntungkan dari tata kelola yang menyimpang tersebut.

"Mereka yang diuntungkan dari tata kelola itu juga perlu diperiksa dan dapat ditetapkan sebagai tersangka dan bertanggung jawab bersama aset korporasinya," kata Hudi saat dihubungi Inilah.com, Kamis (16/10/2025).

Bos Raksasa Disebut, Kerugian Negara Wajib Dipulihkan

Hudi menekankan bahwa selama ada unsur kerugian negara, aparat penegak hukum harus memeriksa kasus ini hingga ke pihak-pihak yang menerima cuan dari praktik kotor ini. Daftar korporasi yang diuntungkan adalah nama-nama yang menguasai sektor energi dan pertambangan nasional, dengan nilai keuntungan yang fantastis.

PT Pamapersada Nusantara (PAMA), anak usaha Astra Group (via PT United Tractors Tbk), meraup keuntungan hampir Rp1 triliun (Rp958,38 miliar). Sedangkan dua anak usaha Sinar Mas Group total meraup sekitar Rp481,22 miliar. Adapun PT Adaro Indonesia (Adaro Group) untung Rp168,51 miliar.

Hudi bahkan secara spesifik menyebut nama-nama di belakang korporasi tersebut yang perlu dimintai pertanggungjawaban, seperti Djony Bunarto Tjondro (Astra Group), Franky Widjaja (Sinar Mas Group), dan Boy Thohir (Adaro Group).

Hukuman Denda tak Cukup, Uang Pengganti Harus Diberlakukan

Kasus ini terungkap dalam persidangan mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan. Jaksa dalam dakwaannya menyebutkan, harga solar nonsubsidi diobral di bawah harga jual terendah (bottom price), bahkan lebih rendah dari Harga Pokok Penjualan (HPP) Pertamina dan harga dasar solar bersubsidi.

Praktik yang dilakukan dengan dalih 'menjaga pangsa pasar' ini menghasilkan keuntungan tidak sah bagi 13 perusahaan senilai Rp2,54 triliun!

Menurut Hudi Yusuf, jika 13 korporasi dan individu terkait ditetapkan sebagai tersangka, hukuman pidana pokok berupa denda biasa tidak akan memberikan efek jera yang memadai.

"Mereka selain pidana pokok perlu pidana tambahan yaitu pengembalian kerugian negara sehingga terjadi pemulihan keuangan negara," tegas Hudi.

Sanksi berupa uang pengganti menjadi esensial untuk memulihkan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi ini. Tanpa pemulihan finansial yang maksimal, penegakan hukum hanya akan menjadi gimik tanpa dampak nyata terhadap aset negara yang telah dijarah.

Desakan pakar hukum ini menjadi ujian nyata bagi komitmen Kejagung dalam memproses kasus korupsi yang melibatkan big players di sektor energi.