Image description
Image captions

Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan apresiasi kepada Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menolak gugatan praperadilan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim (NAM/NM).

"Sudah melalui proses peradilan yang fair, ya kan? Beberapa kali kan, selama beberapa hari itu, dan sekarang sudah diputus. Dan peradilannya ditolak," kata Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, saat dihubungi wartawan, Senin (13/10/2025).

Menurut Anang, putusan hakim tunggal menegaskan bahwa penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung telah mematuhi seluruh prosedur hukum dalam proses penetapan tersangka hingga penahanan, sebagaimana aspek formil yang diuji dalam sidang praperadilan.

"Ya, dengan adanya putusan ini ya, penetapan tersangka dan penahanan Pak Nadiem telah sah menurut hukum acara pidana," ujar Anang.

Atas dasar putusan tersebut, penyidik Jampidsus Kejagung segera menuntaskan pelengkapan berkas perkara penyidikan Nadiem sebagai tersangka dalam kasus pengadaan laptop Chromebook pada program digitalisasi pendidikan Kemendikbudristek tahun 2019–2022. Dengan demikian, Nadiem akan segera diseret ke meja hijau dalam persidangan pokok perkara.

"Dan selanjutnya penyidik akan melanjutkan atau menuntaskan penyidikannya. Tentunya dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, presumption of innocence," ucap Anang.

Praperadilan Ditolak

Sebelumnya, harapan Nadiem Anwar Makarim untuk terbebas dari status tersangka kasus pengadaan Chromebook kandas. Gugatan praperadilan yang diajukan ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

“Menolak permohonan praperadilan pemohon,” ujar Hakim Tunggal I Ketut Darpawan dalam sidang di ruang utama PN Jaksel, Senin (13/10/2025).

Putusan ini menjadi lampu hijau bagi Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses penyidikan. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan seluruh langkah yang diambil penyidik—mulai dari penetapan tersangka hingga penahanan—telah dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.

Selama persidangan, penyidik Jampidsus menilai dalil permohonan yang diajukan kubu Nadiem tidak konsisten dan cenderung ragu-ragu.

Salah satu yang disoroti adalah petitum permohonan yang menyebut penetapan tersangka terhadap Nadiem tidak sah. Namun, di sisi lain, penyidik menilai Nadiem justru secara tidak langsung mengakui penetapan tersangka tersebut sah, karena dalam salah satu poin permohonannya, pihak Nadiem meminta hakim memerintahkan Kejagung menangguhkan penahanan atau mengubah status penahanan menjadi tahanan rumah atau kota jika kasus berlanjut ke tahap penuntutan.

"Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon (kubu Nadiem) yang disampaikan dalam Permohonan Praperadilan a quo ternyata Pemohon tidak konsisten dan ragu-ragu," kata penyidik di ruang sidang PN Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).

Lebih lanjut, penyidik Jampidsus menilai dalil praperadilan kubu Nadiem hanya sebatas asumsi dan tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat. Oleh karena itu, penyidik meminta Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan menolak seluruh permohonan praperadilan tersebut.

Dalam sidang itu, penyidik Jampidsus juga menegaskan bahwa penetapan Nadiem sebagai tersangka telah memenuhi syarat minimal dua alat bukti, bahkan didukung hingga empat alat bukti.

Pernyataan ini sekaligus membantah dalil tim kuasa hukum Nadiem yang menyebut penetapan tersangka kliennya tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan dua alat bukti yang cukup.

Adapun alat bukti surat meliputi hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kerugian negara dalam proyek pengadaan laptop Chromebook yang diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun. Penyidik juga mengungkap adanya alat bukti petunjuk berupa barang bukti elektronik.

Selain itu, penyidik turut menghadirkan sejumlah ahli, antara lain ahli keuangan negara, ahli administrasi negara, ahli pengadaan barang/jasa, serta ahli hukum pidana, termasuk Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad.

Nadiem Tersangka

Dalam kasus Chromebook, Kejagung telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yakni Jurist Tan (JT), eks Staf Khusus Mendikbudristek; Ibrahim Arief (IBAM), mantan konsultan teknologi Warung Teknologi Kemendikbudristek; Mulyatsyah (MUL), eks Direktur SMP Kemendikbudristek; dan Sri Wahyuningsih (SW), eks Direktur SD Kemendikbudristek. Keempatnya ditetapkan pada Selasa (15/7/2025).

 

Mulyatsyah dan Sri Wahyuningsih kini ditahan di rumah tahanan (rutan), sementara Ibrahim Arief berstatus tahanan kota karena menderita penyakit jantung kronis. Adapun Jurist Tan masih buron setelah melarikan diri ke luar negeri.

Sementara itu, Nadiem ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (4/9/2025) dan kini ditahan di Rutan Salemba, cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus ini bermula pada Februari 2020 ketika Nadiem, saat masih menjabat Mendikbudristek, melakukan pertemuan dengan pihak Google Indonesia membahas produk Google for Education dengan perangkat Chromebook. Dari pertemuan tersebut, disepakati produk Google seperti ChromeOS dan Chrome Devices Management (CDM) akan dijadikan proyek pengadaan alat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Kesepakatan itu ditindaklanjuti pada 6 Mei 2020 melalui rapat tertutup via Zoom yang dipimpin Nadiem bersama jajarannya, termasuk Dirjen PAUD Dikdasmen, Kepala Badan Litbang, serta dua staf khusus, Jurist Tan dan Fiona Handayani. Rapat tersebut membahas rencana pengadaan TIK menggunakan Chromebook sesuai instruksi Nadiem, meski program pengadaan saat itu belum dimulai.

Untuk meloloskan produk Google, Nadiem bahkan membalas surat dari Google terkait partisipasi pengadaan TIK — surat yang sebelumnya tidak direspons oleh menteri pendahulu, Muhadjir Effendy, karena uji coba Chromebook pada 2019 dinilai gagal di sekolah-sekolah daerah 3T (terluar, tertinggal, dan terdalam).

Atas instruksi Nadiem, pejabat Kemendikbudristek seperti Sri Wahyuningsih (Direktur SD) dan Mulyatsyah (Direktur SMP) menyusun juknis dan juklak dengan spesifikasi yang mengunci sistem ChromeOS. Tim teknis juga membuat kajian yang menetapkan ChromeOS sebagai standar.

Pada Februari 2021, Nadiem menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021. Dalam lampirannya, spesifikasi ChromeOS kembali ditegaskan sehingga semakin mengunci pengadaan pada produk tertentu.

Perbuatan tersebut diduga melanggar Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2020, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 jo. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, serta Peraturan LKPP Nomor 7 Tahun 2018 jo. Peraturan LKPP Nomor 11 Tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.